ilustrasi Seorang wisatawan asing turut menari dalam pagelaran Tari Joged Bumbung (ANTARA/Nyoman Budhiana)
“Setelah musibah meletusnya Gunung Agung pada tahun 1960-an yang mengenai desa kami, joged gandrangan tak ada yang menarikannya lagi,” kata Ketut Suarno, Prajuru Adat Desa Pengotan, di Denpasar, Kamis.
Dia mengatakan, seiring dengan musibah itu, joged gandrangan pun ikut terkena imbasnya. “Kesenian ini menjadi seakan menghilang dan tak ada lagi yang menarikannya di desa kami,” ujarnya.
Tarian itu pada tahun 1940-an, sangat eksis di Desa Pengotan. Biasanya “sekaa” atau kelompok tarian itu akan berkeliling desa untuk menghibur masyarakat selama dua sampai tiga hari.
Mereka berkeliling itu sudah menggunakan pakaian lengkap untuk pementasan, apabila ada orang yang membayar atau barulah kelompok tersebut mulai menari.
Suarno menjelaskan, jumlah penari beserta penabuh joged itu tidak begitu banyak, hanya 10 orang. Penari yang berjumlah maksimal dua orang tersebut diiringi gambelan atau musik tradisional berbahan bambu.
“Perbedaan mendasar joged gandrangan dengan tarian lainnya adalah irama dan bahan gambelannya serta hiasan rambut yang digunakan penarinya, yakni menggunakan hiasan rambut berbahan kain putih dan tidak menggunakan rambut asli,” katanya.
Dia menuturkan, dalam aturan tarian tersebut tidak ada penari yang melakukan tunjukan (jawatan). Penonton yang ingin menari bersama sang penari tinggal masuk ke arena pementasan dan mengikuti alunan gambelan.
“Jika ada penonton lain yang ingin menari, maka orang yang menarin sebelumnya wajib berhenti dan memberi kesempatan kepada orang lain,” ujarnya.
Biasanya setelah berkeliling pentas, kelompok tarian itu akan menghitung penghasilannya kemudian dibagikan kepada seluruh anggotanya untuk membeli berbagai keperluan hidup.
Namun setelah meletusnya Gunung Agung di Kabupaten Karangasem yang mengenai wilayah Pengotan Bangli, saat itu perekonomian masyarakat menjadi lumpuh.
Bencana alam itu berimbas vakumnya tarian pergaulan rakyat, selain tidak ada kelompok yang membawakannya untuk dipertontonkan, gambelannya pun habis terkena bencana.
“Akan tetapi yang cukup parah penyebab hampir punahnya joged ini adalah kemunculan joged bumbung sekitar tahun 1970-an,” katanya.
Untunglah hingga saat ini, katanya, di Desa Pengotan terdapat tiga orang penari joged gandrangan yang masih hidup yaitu Nang Rai, Nang Salin, dan Dadong Belong. Melalui merekalah, kesenian itu dibangkitkan kembali dan ikut dilibatkan dalam PKB.
“Penampilan kami di PKB ini, merupakan pementasan joged gandrangan sejak meletusnya Gunung Agung. Bahkan di desa kami sekalipun belum kami suguhkan,” ungkapnya.
Pementasan sekaa joged gandrangan di Kalangan Angsoka terlihat begitu menarik antusias penonton. Apalagi saat Dadong Belong, nenek berusia lanjut ikut menari di awal pementasan. Walaupun sudah berusia senja gerakannya nampak masih luwes, bahkan cukup banyak penonton yang menemaninya menari.(*)
(T.KR-IGT/Z002)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2011